Home | Posts RSS | Comments RSS | Login

Beranikah Presiden Membatalkan Rencana Konversi Hutan?

Rabu, 23 Desember 2009
Greenomics Indonesia menilai pidato perubahan iklim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kopenhagen, Denmark kontradiktif dengan rencana tata ruang daerah dan peta penunjukan kawasan hutan Departemen Kehutanan. Pasalnya, terdapat 17,91 juta hektar areal bertegakan hutan yang telah dialokasikan dan dicadangkan untuk dikonversi menjadi areal pembangunan di luar sektor kehutanan.

Demikian Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, Selasa (22/12/2009). Dia menyampaikan hal ini untuk merespons pidato Presiden SBY di Kopenhagen pekan lalu. Untuk itu, Greenomics meminta kejelasan sikap Presiden Yudhoyono atas status areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektar tersebut. Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono mendeklarasikan bahwa Indonesia akan memangkas emisi sebesar 26 persen tahun 2020, dan bahkan hingga 41 persen jika ada bantuan internasional.

Pertanyaan mendasar dari target pemangkasan emisi tersebut, jelas Elfian, adalah bagaimana dengan rencana konversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektar yang secara legal telah dialokasikan dan dicadangkan oleh rencana tata ruang di daerah-daerah, apakah diteruskan sesuai dengan rencana tata ruang tersebut atau dibatalkan.

"Jika rencana konversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektar tersebut tetap diteruskan, maka penurunan emisi sebesar 26 persen hanya sebagai retorika saja, apalagi penurunannya hingga 41 persen, karena salah satu penyumbang emisi terbesar adalah perubahan status dari kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan," ujar Elfian.

Data Rekalkulasi Penutupan Lahan (Departemen Kehutanan, 2008) menunjukkan terdapat 7,08 juta hektar areal yang masih bertegakan hutan yang statusnya sudah dilepas dari kawasan hutan dan saat ini siap untuk dikonversi secara legal. Sedangkan areal kawasan hutan yang dicadangkan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan mencapai 10,83 juta hektar.

"Bayangkan, dari 17,91 juta hektar tersebut, seluas 6,14 juta hektar adalah hutan primer, dan 11,77 juta hektar adalah hutan sekunder," papar Elfian.

Elfian menilai, jika memang Presiden Yudhoyono tidak mengizinkan proses konversi terhadap areal yang masih bertegakan hutan, maka Presiden harus meminta para kepala daerah untuk merevisi rencana tata ruang provinsi dan kabupaten/kota terkait serta meminta Menteri Kehutanan untuk merevisi Peta Penunjukan Kawasan Hutan, dengan cara memasukkan kembali areal 17,91 juta hektar tersebut menjadi kawasan hutan tetap (permanent forest) .

Jika proses revisi tata ruang dan peta penunjukan kawasan hutan tersebut tidak dilakukan, jelas Elfian, maka praktik konversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektar tersebut akan terjadi secara legal.

"Kami tidak yakin para kepala daerah mau membatalkan rencana tata ruangnya untuk tidak mengkonversi areal yang masih bertegakan hutan, karena areal tersebut sudah dialokasikan dan dicadangkan untuk dikonversi. Para kepala daerah pasti berargumentasi bahwa mereka perlu lahan untuk tujuan investasi, seperti untuk perkebunan sawit, dan lain sebagainya, ujar Elfian.

Solusi global

Pidato Presiden Yudhoyono juga menekankan bahwa negara-negara yang memiliki hutan harus mendapatkan sesuatu manfaat jika negara-negara tersebut berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi. Presiden menyebut mekanisme REDD-Plus, semacam mekanisme kompensasi keuangan terhadap inisiatif penurunan deforestasi dan degradasi, sebagai bagian dari solusi global.

"Lalu, apakah Presiden berniat membatalkan rencana konversi areal yang bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektar yang telah dialokasikan dan dicadangkan dalam rencana tata ruang tersebut dengan cara mengkompensasikannya dengan mekanisme REDD-Plus, sehingga Indonesia bisa menjadi bagian dari solusi global?" tanya Elfian.

Jika Presiden berniat membatalkan rencana konversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektar tersebut, maka di s amping merevisi rencana tata ruang dan peta penunjukan kawasan hutan, Presiden juga harus memerintahkan Menteri Kehutanan untuk membatalkan Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur ganti rugi nilai tegakan kayu dari hasil konversi hutan.

"Kami mengakui pidato Presiden di Kopenhagen sangat inspiratif dan produktif dalam merespon masalah perubahan iklim. Kami tidak ingin jika pidato tersebut hanya sekadar dalam teks pidato saja, namun harus melihat masalah riil di tingkat lapangan. Salah satunya adalah so al kejelasan sikap Presiden terhadap rencana tata ruang yang akan mengkonversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektar," ujar Elfian.
kompas.com

0 komentar to Beranikah Presiden Membatalkan Rencana Konversi Hutan?:

Posting Komentar