Home | Posts RSS | Comments RSS | Login

Indonesia dalam Posisi Dilematis

Jumat, 01 Januari 2010
Bagi Indonesia, hubungan Taiwan hanya hubungan perdagangan dan kebudayaan. Sedangkan untuk hubungan politik sulit untuk dilakukan karena Indonesia masih menganut one China policy.

Kondisi ini hingga sekarang tidak berubah meski saat ini Taiwan dikuasai oleh KMT yang mempunyai kecenderungan lebih terbuka. Pengamat hubungan Indonesia dengan Asia Timur yang mantan peneliti Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Bantarto Bandaro mengatakan, hubungan Indonesia dengan Taiwan hanya bisa dilakukan pada level rendah, yaitu ekonomi dan perdagangan. Namun, dalam kasus ini Indonesia sebenarnya dalam posisi yang dilematis.

“Karena Taiwan salah satu kekuatan ekonomi di Asia, mau berhubungan yang lebih, tapi karena ada one China policy menjadi sulit dan terlalu berisiko,” ungkapnya. Risiko yang didapat, jika Indonesia menjalin hubungan diplomasi dengan Taiwan, akan menimbulkan kritikan yang tajam dan reaksi keras dari China. Namun, melihat kondisi Taiwan dan China yang tengah melakukan dialog bisa berimbas positif pada Indonesia. Ini artinya, Indonesia bisa meng-upgrade hubungannya. Namun, itu semua bergantung keberhasilan perundingan antara Taiwan- China. “Jika gengsi Taiwan bisa ditanggalkan dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (China) ini akan bagus,” tegasnya. Menurut Bantarto, dialog lintas selat antara Taiwan dan China bisa berdampak positif bagi ASEAN termasuk di dalamnya Indonesia.

Jika nantinya Taiwan dan China “rujuk” ini akan menguntungkan ASEAN. Selain itu akan menjadi kekuatan ekonomi yang kuat di Asia bahkan dunia. Mengenai FTA yang akan dibuka pada 1 Januari 2010 nanti, Bantarto justru berdampak positif terhadap Taiwan. Barang-barang dari Taiwan akan semakin mudah masuk ke ASEAN asal melalui pintu China. Taiwan bisa memanfaatkan kondisi ini. Sedangkan Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) Teuku Faizasyah menjelaskan hal yang hampir sama. “Kondisi ini tidak berubah, kami tetap menggunakan one China policy. Namun, interaksi kami (Indonesia) dengan Taiwan sebatas ekonomi, perdagangan dan kebudayaan,” ungkap Faizasyah.

Jadi, kata Faizasyah, saat ini Indonesia tetap mengakui bahwa satu China dan Taiwan tetap dianggap bagian dari China. Mengenai saat ini Taiwan tengah menjalin hubungan mesra dengan Taiwan, Faizasyah beranggapan itu suatu hal yang positif. Mengenai pengakuan Taiwan sebagai negara merupakan sebuah proses politik yang sangat bergantung pada hubungan China dan Taiwan. Indonesia sangat menghargai dan memberi apresiasi langkah Taiwan yang saat ini membuka pintu negosiasi dengan China. Menurut Faizasyah langkah ini merupakan langkah positif.

Jika nantinya Taiwan mempunyai titik temu dengan China mengenai hubungan mereka dengan dunia internasional, tidak menutup kemungkinan hubungan Indonesia dengan Taiwan bisa dibuka. “Namun, itu semua bergantung kepada China dan Taiwan, yang jelas saat ini kita tetap dengan one China policy,” tegas Faizasyah. Secara prinsip, saat ini Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan. Untuk ke depannya, Faizasyah belum bisa memastikan bagaimana hubungan Indonesia dan Taiwan.

Faizasyah menegaskan saat ini masih menggunakan one China policy. Jadi, Indonesia tetap belum akan menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan jika kondisinya memang masih seperti saat ini.
okezone.com

Di Antara AS dan China

Hubungan Taiwan dengan negara-negara ASEAN bergantung pada hubungan negeri Sun Yat Sen tersebut dengan China. Peran Amerika Serikat (AS) pun patut diperhitungkan.

Taiwan harus pintar memainkan kondisi ini. Ratusan demonstran mengepung sebuah hotel tempat perundingan antara Taiwan dengan China beberapa waktu lalu di Kota Taichung, Taiwan. Mereka terus meneriakkan penolakan perundingan antara Taiwan dan “sepupu” China. Sebagai tanda penolakan, para demonstran membakar bendera China. Di mata para demonstran, kesepakatan yang dibuat tidak memberikan keuntungan kepada Taiwan. Mereka pun menuntut agar Taiwan tidak menjalin hubungan lebih dekat dengan China.

“Taiwan tidak pernah menjadi bagian dari China. kami ingin komunitas global memahami bahwa warga Taiwan tidak mendukung kesepakatan tersebut,” ujar demonstran Tsai Ting-kui. Sedangkan di dalam hotel beberapa kesepakatan di antaranya karantina makanan, standar industri, dan penempatan para nelayan kembali disepakati antara Taiwan dan China. “Tren yang berkembang saat ini tidak bisa berubah,” ujar pemimpin negosiasi dari Taiwan Chen Yunlin. “Selama beberapa tahun silam, kami telah menyelesaikan banyak pekerjaan yang tidak bisa dicapai 10, 20 atau pun 60 tahun sebelumnya,” paparnya.

Taiwan dan China memang semakin mesra sejak Presiden Ma Ying-jeou berkuasa pada medio 2008. Batu sandungan dalam negeri adalah dari kelompok oposisi, yaitu Partai Demokratik Progresif (DPP) yang lebih menginginkan Taiwan menjadi negara yang merdeka dan benar-benar terlepas dari China. Anjing menggonggong, perundingan tetap berjalan mulus. Mungkin, begitulah ungkapan yang ingin diungkapkan Kuomintang (KMT) tentang aksi penolakan perundingan dengan China. Seorang pakar hubungan Taiwan-China dari Universitas Tamkang, Prof Dr Alexander Chieh-cheng Huang mengatakan, ada beberapa hal yang patut dicatat dalam hubungan antara Taiwan dan China baru-baru ini.

Hubungan strategis yang patut terus dijaga adalah menjaga sikap yang strategis guna menjamin perdamaian, terus mengekspresikan sebuah upaya ke arah yang baik, mengejar perdamaian di eksternal, memprioritaskan pembangunan ekonomi dan revitalisasi, mengakhiri kondisi yang bermusuhan. “Dua yang terakhir adalah memilih negosiasi daripada konfrontasi serta mempromosikan kerangka hubungan,” ungkapnya dalam diskusi dengan para delegasi Future Leader from Souteast Asia di Taipei beberapa waktu lalu. Huang juga menyarankan agar Taiwan mengambil inisiatif terlebih dahulu dalam perundingan tersebut demi kepentingan rakyat Taiwan.

Dalam bernegosiasi, Taiwan tidak perlu berkompromi atau membahas tentang kedaulatan Taiwan atau Republik of China (ROC). Selain itu, kemesraan hubungan antara Taiwan dengan China tidak akan menyakiti hubungan Taiwan dengan negara sekutu demokratisnya. “Pertahanan strategi militer juga tidak akan memperlambat upaya modernisasi pertahanan militer. Untuk itu, kerangka kerja sama lintas selat ini harus dijaga tetap dinamis,” ujar Huang. Mungkin benar apa yang dikatakan Huang. Karena, AS yang selama ini berada di belakang Taiwan memberikan lampu hijau tentang hubungan ini. Pada kunjungan Presiden Barack Obama ke China pada 17 November 2009, AS menyambut baik hubungan damai Taiwan-China.

Obama juga berharap, kedua belah pihak meningkatkan dialog dan interaksi pada bidang ekonomi, politik, dan bidang lain, dan mengembangkan lebih positif. Deputi Menteri Luar Negeri AS James Stenberg pada 24 September 2009 juga mengatakan bahwa pihaknya mendorong dialog antara Taiwan dan China. AS juga akan tetap berkomitmen tetap menjamin kebutuhan pertahanan bagi Taiwan. “Kami membuat keputusan tentang penjualan senjata,”ungkap Stenberg. Ini artinya, Taiwan tidak perlu khawatir AS akan meninggalkan dirinya, jika terus berdialog dengan China. Pemerintah AS tetap menjamin hubungan yang terjalin selama ini terutama di bidang pertahanan. Justru, yang patut dikhawatirkan Taiwan adalah kondisi di China.

Karena perekonomian Taiwan saat ini sangat bergantung pada China. Jika perekonomian China ambruk, perekonomian di Taiwan langsung terkena imbasnya. Mengapa? Karena hampir 40 persen tujuan ekspor Taiwan adalah ke China. “Jadi, istilahnya panda sakit lebih berbahaya dibanding naga yang sedang marah,” ungkap Huang. Artinya, jika bursa ekonomi di China hancur, dalam hitungan detik Taiwan. Namun, jika China mengirimkan rudalnya, masih membutuhkan beberapa menit untuk menghancurkan Taipei (ibu kota Taiwan). Beberapa hal yang patut ditekankan dalam dialog antara Taiwan dengan China adalah pertukaran pendidikan dan kebudayaan.

Selain itu juga perlu terus dibangun perjanjian kerangka kerja ekonomi, perjanjian diplomasi, mengakhiri permusuhan dan bersama membangun kepercayaan militer. Untuk ke depannya Huang memprediksi, dialog Taiwan dengan China akan mengarah dari masalah relatif mudah ke proses rumit, dari isu-isu fungsional sangat sensitif ke isu-isu politik, dari ekspresi sederhana niat baik ke suatu kenyataan memeriksa keuntungan besar. Selain itu, dari isu bilateral murni ke proses kemungkinan keterlibatan pihak ketiga. “Dan dari menyiapkan isu-isu dengan baik untuk agenda yang belum sepenuhnya dibahas,” kata Huang.

Lebih lanjut Huang menggaris bawahi, Taiwan harus pintar memainkan dua peran terhadap China dan AS. Dengan China yang bisa dilakukan secara terbuka adalah meningkatkan dialog politik dan melakukan politik yang lembut. Sedangkan kepada AS strategi yang dilakukan jangan terlalu terbuka, yaitu menyangkut meningkatkan hubungan keamanan dan kerja sama militer.
okezone.com